Jeritan Wadon Wadas Dibalik Konflik Megaproyek Bendungan Bener

- 10 Februari 2022, 11:01 WIB
Aksi Wadon Wadas menolak eksploitasi penambangan batu besar-besaran di desanya, menuntut pelestarian lingkungan hidup teruntuk anak cucunya kelak
Aksi Wadon Wadas menolak eksploitasi penambangan batu besar-besaran di desanya, menuntut pelestarian lingkungan hidup teruntuk anak cucunya kelak /projectmultatuli.org/

KARANGANYARNEWS - Ketegangan warga Desa Wadas kian mereda, puluhan warga yang sempat ditahan polisi, juga sudah beraktifitas sebagaimana kehidupan keseharian mereka.  

Tak terkecuali para perempuan yang tergabung dalam Wadon Wadas, komunitas para ibu rumah tangga yang tetap gigih memperjuangkan penolakan eksploitasi lingkungan hidup, penambangan batuan besar-besaran di desanya.

Urip, salah satunya. Ibu rumah tangga berusia 41 tahun ini sejak seusai sholat Subuh dan bersih-bersih rumahnya, bergegas memulai rutinitas aktifitas urusan dapurnya.

Baca Juga: Buntut Konflik Desa Wadas, Twitter Ganjar Dibanjiri Kritik Pedas

Ibu tiga anak ini duduk di balai bambu, mengupas berambang dan bawang putih. Suara kokok ayam kampung jantan dan ayam hutan hijau yang bersahut-sahutan, menemaninya memasak sayur bobor teruntuk sarapan suami dan anak-anaknya. 

Pada waktu yang sama, Tukidi, 55 tahun, suaminya juga bergegas berangkat mengambil badek, air hasil sadapan pohon aren yang akan diolah menjadi gula Jawa yang sering disebut juga gula merah.

Empat pohon aren tempatnya menderas tuak, tumbuh di Alas (sebutan lahan pertanian miliknya) tak jauh dari tempat tinggalnya di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Baca Juga: Proyek Desa Wadas Tetap Jalan, Ganjar Jamin Tak Akan Ada Kekerasan  

Tetesan badek dari ujung tandan bunga jantan pohon aren yang dipotong, dia tampung dalam bumbung. Setelah sekitar 12 jam, badek harus diambil setiap pagi dan sore hari.

Bila terlambat mengambilnya, badek rusak tidak bisa diolah menjadi gula aren. Karena itulah, “Walaupun hujan turun, ya tetap harus diambil,” kata Tukidi sebagaimana ditulis projectmultatuli.org.

Setiap turun dari satu pohon, dia membawa pulang bumbung berisi badek dan diletakkan di dapur. Setelah semua terkumpul, Urip istri Tukidi yang mengambil kendali, menuangkannya ke sebuah panci besar berukuran sekitar 20 liter. 

Baca Juga: Kapolda Bebaskan 64 Warga Wadas Hari Ini,   Polisi Tidak Pernah Mengepung Masjid

“Sepertinya hasil badek hari ini tidak sebanyak kemarin,” kata Urip berkeluh kesah. Badek yang diambil kemarin sore dan sudah dimasak setengah matang,  disatukan dengan hasil sadapan hari ini. Urip merebusnya hingga menyisakan sepertiga dari volume awal, setelah cairan itu mulai mengental. 

Setelah enam jam berlalu, Urip menurunkan panci dari tungku karena badek mulai mengental. Dengan menggunakan siwur, ia menuangkannya ke cetakan yang terbuat dari batok kelapa dibelah dua, proses ini disebutnya nitis. 

Hari ini, badeg hasil sadapan suaminya menghasilkan 18 bongkah atau biji gula aren, totalnya seberat 9 Kg gula Jawa siap jual. Harga gula aren setiap 1 Kg saat ini, menurut Urip Rp 18.000.

Baca Juga: Duh, Siswi SMP di Wonogiri Berhubungan Intim dengan 7 Perjaka

Memproduksi gula aren, sebagaimana setiap hari dilakukan pasangan keluarga Tukidi-Urip juga sebagian besar warga Desa Wadas lainnya, mereka anggap tak sekedar rutinitas penghasil rupiah.

Kearifan lokal warisan nenek moyang yang hingga sekarang tetap ditekui ini, diyakininya juga sebagai isyarat keharusan menjaga kelestarian alam semesta. Selebihnya, juga merupakan filosofi betapa kuat dan eratnya harmonisasi alam dengan manusia. 

"Selama kita mau menjaga dan merawat kelestarian alam semesta, Gusti Allah pasti akan memberikan kebutuhan hidup umat manusia," kata Tukini menyampaikan pesan pelestarian alam semesta dari kakek neneknya. 

Baca Juga: Diwaduli Perempuan Kehabisan Pembalut, Gibran; GPL, Kirim Saat Itu Juga

Membuat gula arenmerupakan salah satu sumber kehidupan mereka. Disebutnya sebagai penghasilan finansial kesehariannya, disamping penghasilan utamanya dari bercocok tanam beragam tanaman di Alas miliknya.

Dari tanah tegalan subur nan produktif di desanya tadi disebutkan menghasilkan buah durian, petai, kopi, kelapa, kemukus, getah karet, empon-empon dan lainnya. Selebihnya, warga Desa Wadas juga masih menghasilkan rupiah dari ternak aneka peliaraan. 

Teruntuk para ibu rumah tangga, selain rutinitas membantu suaminya memproduksi gula aren, juga masih ada aktifitas lain yang menghasilkan rupiah. Selepas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, kaum Hawa di Desa Wadas menekuni handycraf membuat besek.

Baca Juga: Astana Giri Bangun Pernah Diisukan Berlapis Emas, Inlah 9 Fakta Makam Presiden Soeharto

Begitulah kehidupan warga Wadas yang menyatu dengan alam, secara turun menurun dari generasi ke generasi berikutnya. Mereka mengaku sangat bersyukur, senantiasa mendapat berkah berlimpah dari kehidupannya di Desa Wadas.

Namun demikian, belakangan ini mereka rasakan ketenangan dan ketenteraman kehidupan di desanya sangat sangat terusik. Alas, lahan penopang utama kehidupannya terancam musnah dari kepemilikan haknya.

Kekawatiran warga Desa Wadas, mereka sebutkan seiring terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah No. 590/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener. 

Baca Juga: 4 Penguasa Solo Raya Masuk Daftar Pejabat Terkaya; LHKPN Juliyatmono Tidak Terekspose, Kenapa?

Surat Keputusan yang berdasarkan UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini, juga menetapkan Alas Wadas 146 hektare, setengah luas desa dikuasai negara, sebagai lokasi penambangan batu quarry (andesit).

Batu andesit di perut Alas Wadas, merupakan material utama pembangunan Bendungan Bener, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang berada sekitar 10 kilometer barat Desa Wadas. 

Beberapa sumber yang dihimpun menyebutkan, sejak awal mayoritas warga (tercatat, sekitar 300 Kepala Keluarga (KK) dari 450 KK warga di Desa Wadas) menolak rencana eksploitasi besar-besaran sumber daya alam ini. 

Baca Juga: Umbul Ponggok Klaten; Wouw, Baby Margaretha dan Irfan Hakim pun Terpikat Sensasinya

Warga Desa Wadas, menurut sumber tadi tidak mau kehilangan tanah mereka di Alas yang seumur hidupnya telah memberikan kesejahteraan hidup secara berkelanjutan. Mereka beranggapan, tanah hak miliknya adalah sumber kehidupan hari ini dan teruntuk diwariskan anakcucu kelak.

“Kami benar-benar pusing, sudah ditolak (rencana penambangan quarry) warga tetap masih nekat,” tegas Urip mengungkapkan kekesalan dan kekecewaan dia dan seluruh anggota Wason Wadas. 

Diperoleh keterangan juga, Urip tercatat sebagai anggota Wadon Wadas (wadon artinya perempuan), sebuah organisasi perempuan di Desa Wadas yang menolak keras penambangan batu andesit di desanya.

Baca Juga: Bebek Bacem Klaten, Butet Kartaredjasa Dibuat Ngiler Citarasanya

Berdiri awal 2021, organisasi ini memperkuat perlawanan masyarakat Wadas yang telah mendirikan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas atau Gempa Dewa (organisasi utama) dan Kawula Muda Desa Wadas (Kamu Dewa) untuk generasi muda. ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah