17 Perempuan Jubah Putih dalam Parade Puisi Moderasi Beragama, Siapakah Mereka?

- 6 Juni 2023, 13:38 WIB
Atthasilani Gunanandani memberikan sambutan pada Parade Baca Puisi Moderasi Beragama di Vihara Tanah Putih  Semarang, Minggu 04 Juni 2023
Atthasilani Gunanandani memberikan sambutan pada Parade Baca Puisi Moderasi Beragama di Vihara Tanah Putih Semarang, Minggu 04 Juni 2023 /Dok. Satupena Jawa Tengah/

KARANGANYARNEWS - Ada yang paling menarik dari acara Parade Baca Puisi Moderasi Beragama yang diselenggarakan Perkumpulan Penulis Indonesia “Satupena” Jawa Tengah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah, di Vihara Tanah Putih, Semarang, Minggu 04 Juni 2023.

 

Kehadiran 17 perempuan berjubah putih, membuat suasana menjadi eksotik dan mengesankan. Sebagaimana dijelaskan Kepala Vihara Tanah Putih,  Bhante Cattamano Mahathera. Menyambut Hari Raya Tri Suci Waisak tahun ini, Vihara Tanah Putih menasbihkan 17 peserta pelatihan Atthasilani.

Program pelatihan Atthasilani ini, menjadi yang pertama diadakan di Kota Semarang. Sejumlah peserta berasal dari luar kota, bahkan ada yang dari Papua dan Kalimantan Selatan.

 Baca Juga: Tausiah Moderasi Beragama Bergema dalam Parade Puisi di Vihara Tanah Putih

Atthasilani, disebutkan perempuan yang menjalani kehidupan suci dengan menerapkan delapan sila, mengenakan jubah putih dan mematuhi 75 aturan Atthasilani. Peserta Atthasilani, bisa melepas jubah putih setelah 11 hari.

Menurut Bhante Cattamano Mahathera, ada persyaratan untuk menjalani   Atthasilani. Pertama harus ada izin, kalau dia punya keluarga harus diizinkan keluarga. Kalau sudah bersuami, harus diizinkan oleh suami.

Kehidupan Rumah Tangga

 

Salah seorang Atthasilani, Gunanandini, menyambut ramah dan hangat kehadiran para penyair anggota Satupena Jawa Tengah dan para tokoh lintas agama dan iman yang mengucapkan selamat Hari Trisuci Waisak.

 Baca Juga: Puisi Lebih Menyentuh Hati, Puluhan Penyair Gemakan Moderasi Beragama di Vihara Tanah Putih Semarang

Bahkan, mereka berpartisipasi aktif dalam Parade Baca Puisi Moderasi Beragama. Gunanandini menuturkan, proses penasbihan Atthasilani ada berbagai persyaratan lainnya yang mesti terpenuhi peserta Atthasilani.

Untuk jadi Atthasilani, selain harus mendapat izin dari keluarga juga harus bersedia ikut aturan latihan Atthasilani. Tidak punya penyakit menular, minimal berusia 7 tahun dan maksimal usianya itu 60 tahun.

 Mereka dapat memilih untuk melanjutkan pelatihan sebagai seorang Atthasila, atau kembali menjalani kehidupan sebagai umat biasa. Dalam agama Buddha, ada dua pola kehidupan.

 Baca Juga: Antologi Puisi Merayakan Perjumpaan dengan Sang Ada, akan Dikupas Aktifis Feminis Myra Diarsi

"Pertama, pola kehidupan rumah tangga. Kedua, meninggalkan pola kehidupan rumah tangga. Itu semua pilihan, tergantung pada sejauh mana kapasitas kemampuannya, seberapa lama bisa menjalaninya,” kata dia.

Melepas Mahkota

 

Melalui pelatihan Atthasilani, kata Gunanandini, semua peserta menjalani kehidupan bak seorang Bhikku di Vihara Tanah Putih dan mengikuti Pindapata, menerima makanan dari umat.

 Baca Juga: 'Sebilah Lidah' Chris Triwarseno Menembus Kedutaan Perancis, Inilah Antologinya

Selama pelatihan Atthasilani, peserta tak boleh makan lewat dari tengah hari. Kemudian tak diperkenankan mengenakan riasan wajah, wewangian, dan segala sesuatu yang bertujuan untuk mempercantik diri.

Gunanandini menambahkan, sebelum bulan purnama atau sehari sebelum penasbihan Atthasilani seluruh peserta memotong rambut. Dikatakan, hal itu dimaksudkan untuk melepas sesuatu yang dianggap mahkota seorang perempuan.

Ketua FKUB Jawa Tengah Taslim Syahlan mengatakan, momentum Hari Raya Waisak ini kita jadikan tonggak kerukunan dan moderasi beragama. Melalui puisi-puisi para penyair, kita berharap semua umat beragama rukun dan toleran. Tidak ada permusuhan, semoga yang ada hanyalah perdamaian.

 Baca Juga: Antologi Puisi Melawan Pandemi, Luapan Empati Penyair Lintas Provinsi

Dalam acara yang sama, Ketua Umum Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie menambahkan, penguatan moderasi beragama tidak cukup diusahakan secara struktural melalui kebijakan negara.

"Harus juga menjadi gerakan kultural masyarakat. Para penyair terpanggil komitmen sosialnya dengan menciptakan dan membacakan puisi-puisi bertema moderasi beragama," terangnya. ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x