7 Tingkatan Kehidupan di Candi Cetho, Gunung Lawu, Karanganyar

- 6 Maret 2023, 19:06 WIB
Candi Cetho disusun berderet dari barat ke timur, makin ke belakang makin tinggi dianggap paling penting dan suci, terletak di teras paling tinggi
Candi Cetho disusun berderet dari barat ke timur, makin ke belakang makin tinggi dianggap paling penting dan suci, terletak di teras paling tinggi /fb @wisata karanganyar/

KARANGANYARNEWS- Candi Cetho, dibangun di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dibangun dalam teras-teras yang berundak.

Candi Cetho disusun berderet dari barat ke timur, makin ke belakang makin tinggi, yang dianggap paling penting dan suci terletak di teras paling tinggi. Teras-teras tersebut, berjumlah 7 buah.

 

 

Dilansir KaranganyarNews.Com dari buku 'Seri Fakta dan Rahasia Dibalik Candi: Candi Masa Majapahit, ke-7 teras di Candi Cetho itu melambangkan tujuh tingkatan kehidupan manusia dalam kepercayaan Hindu.

Baca Juga: 5 Hotel Rekomended: Berbintang, Low Budged, Dekat Bandara Adi Sumarmo dan Museum Dhe Colomadu

Berturut-turut dari tingkatan terbawah sampai ke atas adalah: Bhur Loka, Bhuwar Loka, Swar Loka, Catur Loka, Jana Loka, Tapa Loka dan Sapta Loka.

Teras paling bawah di Candi Cetho melambangkan tingkat Bhur Loka adalah tingkatan manusia yang masih dikuasai oleh hawa nafsu, sedangkan teras paling atas dan dianggap teras yang paling suci melambangkan tingkat Sapta Loka.

Sebagai tingkatan manusia yang sudah bisa membebaskan dirinya dari hawa nafsu duniawi, sehingga lepas dari hukum karma. Masih menurut buku tadi, ada yang  menarik lainnya lagi di Candi Cetho.

Baca Juga: 5 Desa Wisata Lereng Gunung Merapi, Rekomended untuk Berlibur dan Menginap Bersama Keluarga

Antara teras yang satu menuju teras di atasnya, dihubungkan oleh tangga batu yang berjumlah empat buah.  Menurut para ahli arkeologi, tangga batu yang berjumlah 4 (empat) ini ada hubungannya dengan –Warnasramadharma-.

Warnasramadharma  adalah 4 tahapan yan harus dilalui bagi penganut Hindu di masa hidupnya, yaitu Brahmacarya, Grhastha, Wanaprastha, dan Sannyasa.

Tahap pertama adalah Brahmacarya adalah hidup menjadi murid. Pada tahapan ini manusia-manusia yang masih muda diwajibkan untuk mempelajari ilmu sebanyak mungkin pada seorang guru. Tahap ini, lamanya 12 tahun.

Baca Juga: Unik Nan Legendaris: Inilah 6 Jalan dan Tempat, Membuat Setiap Orang Move On Yogyakarta

Setelah lulus masuklah ia ke tahap Grhastha. Pada tahap kedua ini, seseorang harus membina sebuah rumah tangga untuk melanjutkan keturunan.

Ia juga harus meiliki tanah pekarangan untuk kehidupan dan kesejahteraan keluarganya. Setelah tua, maka harus meninggalkan keluarganya, dan masuk ke tahap ketiga, yaitu Warnaprastha.

Dalam tahap ketiga, Wanaprastha, sesorang akan akan menjadi pertapa yang tinggal di hutan (wana). Ia harus merenungkan kembali segala perbuatannya di masa lalu, dan medekatkan diri kepada Yang Maha kuasa.

Baca Juga: Wajib Tahu: Inilah 3 Zodiak Wanita Pemilik Inner Beauty Tertinggi, Kalian Salah Satunya?

Dan sebagai tahapan akhir (tahap keempat) adalah Sannyasa. Dalam tahap keempat ini, seorang manusia harus meninggalkan segala yang bersifat keduniawian.   

Candi Cetho secara administratif terletak Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah. Laporan ilmiah pertama kali mengenai Candi Cetho, dibuat oleh Van de Vlies pada tahun 1842 dan A.J. Bernet Kempers.

Selanjutnya ditangani oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda pada tahun 1928 ( Oudheiddienst Dienst). Candi Cetho berdasarkan prasasti yang berupa sangkalan welut wiku anakut iku, oleh Bernet Kempers, ahli purbakala Belanda, diartikan sebagai tahun Saka 1373 atau tahun 1451 Masehi, (Masa akhir Majapahit).

Baca Juga: Weton Selasa Pahing: Jangan Bermain Api Asmara, Inilah Dahsyatnya Karunia Pelet Penjerat Jiwa

Pendapat Bernert Kempers ini, dikuatkan dengan penemuan batu yang berhiaskan lambang kebesaran Majapahit, yaitu “Surya Majapahit” di halaman Candi Cetho. 

Namun patut disayangkan, adanya pemugaran yang tidak melibatkan ahli arkeologi akhirnya banyak menghilangkan keaslian bentuk awal dari Candi Cetho.

Seperti pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten presiden Suharto, banyak mengubah struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan.

Baca Juga: Wanita Kelahiran Neptu Weton Selasa Pahing: Catat dan Waspadai, Jerat Bujuk Rayu Lawan Jenismu

Pemugaran ini, banyak dikritik para pakar arkeologi. Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak asli adalah gapura megah pada bagian depan kompleks.

Selain itu, juga bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, BrawijayaV, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden. ***

Editor: Kustawa Esye


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x