Beda Iktikaf dengan Suluk Tarekat Naqsabandiyah, Betulkah Bid’ah?

3 April 2024, 03:05 WIB
Suluk tarekat naqsabandiyah, sekilas hampir mirip iktikaf. Namun demikian, apakah dapat disamakan atau justru termasuk bid’ah? /Pixabay.com/Javad_esmaeli

KARANGANYARNEWS - Sekilas, hampir mirip iktikaf. Namun demikian, apakah suluk tarekat naqsabandiyah dapat disamakan dengan iktikaf atau justru termasuk bid’ah? Berikut jawaban dan penjelasan lengkapnya.

Naqsabandiyah, disebutkan dalam portal muhammadiyah.or.id sebagai tarekat yang mengajarkan pemahaman tentang hakikat dan tasawuf. Tarekat ini, sesungguhnya telah ada sejak dulu dan konon lahir di daerah Bukhara.

Penyebarannya cukup pesat dan luas, termasuk ke negara-negara di Asia Tenggara. Khusus di Indonesia, tarekat ini menjadi cukup terkenal karena seringnya mereka berbeda tentang penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal dengan beberapa pihak.

 Baca Juga: WAJIB TAHU: Inilah Syariat dan Syarat Kaum Wanita Menjalankan Iktikab

Tekait suluk, sejauh penelusuran Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dari berbagai sumber, ditemukan dua fakta yang perlu diketahui dan menjadi catatan.

Pertama, suluk menurut tarekat Naqsabandiyah merupakan suatu kegiatan yang biasa dilakukan oleh tarekat tersebut dua kali dalam setahun, pada bulan Rabiulawal dan Ramadan.

 

Berdiam Diri di Masjid

Kegiatan ini berlangsung beberapa hari, mulai siang dan malam dengan tujuan pembersihan diri dan pendekatan kepada Allah.

 Baca Juga: Wajib Tahu: 6 Syariat Iktikaf, Sesuai Tuntunan Alquran dan Hadis Nabi

Kedua, seorang yang mau mengikuti kegiatan suluk ini sebelumnya harus mau dibaiat agar berjanji mau mengikuti segala aturan yang ada dalam tarekat tersebut.

Terkait iktikaf,  dalam portal muhammadiyah.or.id dijelaskan, menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian iktikaf menurut istilah di kalangan para ulama terdapat perbedaan.

Al-Hanafiyah atau ulama Hanafi berpendapat, iktikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan salat berjama’ah, dan menurut ulama Syafi’i, iktikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah.

 Baca Juga: 10 Hari Terakhir Puasa Ramadhan, Malam Lailatul Qodar dan Syariat Iktikaf

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan, iktikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.

 

Tempat Iktikaf

Mengenai tempat pelaksanaan iktikaf, di dalam alqur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan, iktikaf dilaksanakan di masjid:

“… Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah: 187]

 Baca Juga: Wanita Haid Ingin Meraih Malam Lailatul Qodar? Catat, Inilah 5 amalannya

Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan iktikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya.

Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan iktikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak.

Hal ini, sebagaimana dipegang oleh ulama Hanafi. Pendapat yang lain mengatakan, iktikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini, dipegang oleh ulama Hambali.

 Baca Juga: Inilah Jawabnya, Kenapa Allah Merahasiakan Kapan Turunnya Malam Lailatul Qodar?

Menurut Majelis Tarjih, masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan iktikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at), dan tidak mengapa iktikaf dilaksanakan di masjid biasa (Lihat fatwa no. 31, tahun 2009).

 

2 Unsur Bid’ah

Apaaakah apakah suluk tarekat naqsabandiyah Bid’ah? Dijelaskan dalam portal muhammadiyah.or.id, kata bid’ah berasal dari bahasa Arab bada’a yang berarti penciptaan suatu karya kreatif dan orisinal tanpa adanya contoh sebelumnya.

Dalam Alqur’an surah al-Baqarah ayat 117 dan al-An’am ayat 101, Allah swt berfirman: ”Badi’us samawati wal-ardh”, yang berarti Allah adalah  pencipta langit dan bumi dengan tiada contoh terlebih dahulu.

 Baca Juga: MUSLIM WAJIB TAHU: Inilah Jawaban Misteri Kapan Turunnya Malam Lailatul Qodar?

Pengertian harfiah dari kata bid’ah ini, sangat erat hubungannya dengan pengertian terminologi dalam agama Islam, karena bid’ah itu esensinya setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh dari Rasulullah saw yang membenarkannya.

Secara teknis para ulama mendefinisikan bid’ah itu sebagai suatu cara  mengamalkan agama yang dibuat-buat dan menyerupai ketentuan syara’ dan mempraktikkannya dimaksudkan untuk ibadah kepada Allah (al-I’tisam, I: 36-37).

Jadi, menurut definisi ini unsur-unsur bid’ah ada dua: Pertama, adanya praktik yang diadakan kemudian dan menyerupai ajaran agama. Dan kedua, praktik tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari ritual peribadatan kepada Allah.

 

Akidah dan Ibadah

"Perlu ditegaskan, bid’ah itu tidak hanya meliputi praktek yang berupa perbuatan, tetapi juga sikap tidak berbuat yang disebut bid’ah tarkiyah (meninggalkan suatu yang diperintahkan oleh agama baik yang sunat maupun yang wajib dengan anggapan bahwa meninggalkan itu adalah agama).

 Baca Juga: Wanita Istihadhah Tetap Diwajibkan Puasa Ramadhan: Catat, Inilah Perbedaannya dengan Haid

Dicontohkan, seperti ajaran bahwa orang saleh yang telah mencapai tingkat hakikat tidak perlu lagi mengerjakan taklif syari’ah, karena syari’ah itu hanyalah kulit belaka, sementara orang tersebut telah mencapai inti agama, yaitu hakikat.

Namun demikian, dijelaskan orang yang meninggalkan perintah agama bukan karena meninggalkan itu dipandang sebagai agama, melainkan semata-mata karena malas atau lalai atau juga karena tidak percaya kepada agama,  tidak disebut bid’ah melainkan maksiat.

Pelanggaran bid’ah itu tercakup dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad Saw;  antara lain hadis riwayat Muslim (Shahih, I: 380, hadis nomor 867) dari Ibnu Majah (Sunan, I: 17, hadis nomor 45) dari Jabir ibn Abdillah:

“Adapun selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah adalah sesat.”

 Baca Juga: Wanita Istihadhah, Wajibkah Menjalankan Puasa Ramadhan?

Dari apa yang dikemukakan di atas tampak beberapa hal, bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah Saw dan yang oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari agama dan dengan demikian ia merupakan lawan dari sunnah.

Bid’ah, hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan agama (akidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan duniawi yang bersifat ma’qulul-ma’na (Lebih lanjut pembahasan tentang bid’ah, lihat dalam buku Tanya Jawab Agama 3, hal. 232-3).

 

Beda Suluk dengan Iktikaf

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kegiatan suluk meskipun sekilas hampir mirip dengan iktikaf, tidak serta merta dapat disamakan secara mutlak. Karena antara keduanya, terdapat beberapa perbedaan yang cukup fundamental.

 Baca Juga: Inilah Jawaban dan dalilnya: Mimpi Basah, Kenapa Tak Membatalkan Puasa Ramadhan?

Dalam iktikaf tidak ada waktu-waktu khusus dan bacaan-bacaan khusus yang harus dibaca, berbeda dengan kegiatan suluk yang mensyaratkan pelaksanaannya pada bulan Rabiulawal dan Ramadan.

Selain itu, ketika seseorang akan melaksanakan iktikaf tidak perlu mengadakan baiat dengan siapapun, dan apabila dia adalah seorang perempuan, maka tidak perlu diantar oleh pihak keluarga atau suaminya.

Karena itulah, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyarankan agar lebih menjaga akidah dan ibadah kita dari hal-hal yang dapat mengotorinya.

Baca Juga: Mimpi Basah Saat Puasa Ramadhan, Batalkah? Begini, Syariat dan Dalilnya

Disebutkan, lebih baik kita amalkan saja amalan-amalan yang sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw, dan kita tinggalkan amalan atau kegiatan yang tidak jelas atau bahkan tidak ada tuntunannya di dalam Alquran dan Al Sunah Al Makbulah.***

Editor: Kustawa Esye

Tags

Terkini

Terpopuler